3) Pemeliharann Benda
Cagar dan Situs
Menurut Martokusumo
(2005), Bentuk kegiatan Pelestarian :
Pemugaran/dinamik, aktif.
* Preservasi
Pelestarian/statis,
pasif.
* Rekonstruksi
Upaya untuk mengembalikan
keadaan sebuah obyek bangunan, fabric, kawasan, yang telah hilang atau hancur
kepada kondisi awal.
* Restorasi
Upaya mengembalikan
sebuah bangunan atau kawasan kepada kondisi asli, sejauh yang diketahui dengan
menghilangkan penambahan baru atau membuat elemen eksisting tanpa adanya
penggunaan bahan baru.
* Renovasi
Upaya mengubah sebagian
atau beberapa bagian bangunan tua terutama bagian interior, agar bangunan
tersebut dapat diadaptasikan untuk mengakomodasikan fungsi atau kegiatan baru,
tanpa menimbulkan perubahan yang berarti bagi keutuhan struktur maupun fasade
bangunan tersebut.
* Rehabilitasi
Upaya mengembalikan
kondisi obyek, bangunan atau kawasan hingga dapt berfungsi kembali dengan baik.
* Gentrifikasi
Proses perubahan struktur
komunitas urban yang dapat berarti relokasi penduduk sebagai dampak dari
kegiatan peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial dan ekonomi.
* Revitalisasi
Upaya menghidupkan
kembali sebuah distrik suatu kawasan kota yang telah mengalami degradasi,
melalui intervensi ekonomi, sosial dan fisik.
“Tujuan Pelestarian Bangunan dan Kawasan Bersejarah”
:
Menurut Undang-Undang RI
No.11 tahun 2010 Cagar Budaya bertujuan untuk
melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan
umat manusia.
Meningkatkan harkat dan
martabat bangsa melalui Cagar Budaya.
Memperkuat kepribadian
bangsa.
Meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Mempromosikan warisan
budaya bangsa kepada masyarakat Internasional.
“Cara-Cara Pelestarian Benda Cagar Budaya dan
Situs”
Dalam upaya pelestarian BCB maupun KCB
sebaiknya dilakukan secara bertahap, yaitu sebagai berikut:
1.
Perlindungan hukum dan penetapan sebagai BCB ataupun KCB, di era
otonomi daerah, undang-undang yang diterbitkan oleh pemerintah pusat
kadang-kadang gaungnya tidak seperti peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah
kabupaten dan kota maupun pemerintah propinsi, misalnya Peraturan Daerah, Surat
Keputusan Bupati, Walikota, ataupun Gubernur yang gaungnya akan langsung dapat
diterima oleh masyarakat luas. Demikian pula dengan penetapan yang menyatakan
suatu obyek adalah BCB atau KCB agar mempunyai kekuatan hokum. Untuk itu,
diusulkan penetapan dapat dilakukan oleh pemerintah kabupaten kota yang dibantu
oleh tenaga ahli yang berkompenten dalam bidangnya (arkeolog, sejarawan,
antropolog, filolog, dsb).
2.
Perlindungan secara fisik, perlu dilakukan untuk menghindari
campur tangan pihak-pihak lain yang tidak berwenang dalam system pengelolaan
BCB dan KCB. Langkah awal dalam perlindungan secara fisik adalah melakukan
pemintakatan atau zoning. Langkah pemintakatan ini selain bertujuan
melestarikan obyek, juga dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan lain
terutama yang terkait dengan pemanfaatan BCB dan KCB tersebut. Penentuan
batas-batas antara mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan
dapat dilakukan secara arbiter dengan mempertimbangkan batas situs, kondisi
geotopografi, dan kelayakan pandang.